Sunan Kudus yang
bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Beliau pula yang menjadi salah satu dari
anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus
begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu
terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan
dan kebudayaan yang toleran.
Tak
heran, jika hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan Menara Kudus
selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Selain
itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran toleransi Sunan Kudus tak lekang
oleh zaman dan justru semakin relevan ditengah arus radikalisme dan
fundamentalisme beragama yang semakin marak dewasa ini.
Dalam
perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Cara
berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang menekankan
kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa
nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya yakni
dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja melarang
untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga ditempatkan
di halaman masjid kala itu.
Langkah
Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat yang waktu itu
menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian berduyun-duyun mendatangi
Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan,
bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus
mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan
menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan
menyembelih sapi.
Selain
berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus juga
bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang
difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan
relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran
mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama
yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi
budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan
Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan
Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga
dengan bangunan Pura di Bali.
Menara
tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat untuk
memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon
merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai
landmark Kabupaten Kudus.
Strategi
(akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui zamannya.
Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai akulturasi saat itu
belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini,
toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi beragama tak
cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka. Dengan jalan
menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan Kudus, kiranya masyarakat
muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam yang ramah dan toleran setelah
sebelumnya dihinggapi oleh stigma negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus.
Sumber: Wikipedia
AKAtrans melayani PAKET WISATA
RELIGI ZIARAH SUNAN KUDUS. Deangan layanan transportasi yang Aman dan Nyaman,
kami memfasilitasi anda untuk berlibur sekaligus beribadah ziarah. Budget dan
timing bisa diatur, karena kami sangat fleksible. :) (AT)
No comments:
Post a Comment